Ilmu komunikasi? Apa
yang terpikir oleh kalian saat mendengar ilmu komunikasi?
Jurnalistik? Humas?
Jadi wartawan atau malah orang-orang yang ahli dalam perangkat keras dan lunak
dalam komputer?. Wah ini mah salah besar.
Jadi yang namanya ilmu
komunikasi yang nggak akan lepas dari ilmu becakap-cakap. Siapa coba yang nggak
mau becakap tapi dibayar mahal hanya dalam satu atau dua jam?. Tapi nggak
semudah cakap-cakap sampah yang wak, kalo kata orang medan. Biar ngomong banyak harus bermanfaat, ngomong
sedikit bisa mengunggah.
Masuk ke permasalahan aku pribadi (tulisan pertama didahului dengan masalah ya). Kuliah di komunikasi bukan perkara mudah. Entah dapat ilham atau wahyu dari mana akhirnya aku milih komunikasi untuk jadi pelabuhan terakhir dalam dunia S1 yang sekarang sudah memasuki semester tujuh. Mulai dari lingkungan kampus, teman sejawat dan berakhir pada kesendirian yang nyata.
Bolehlah cerita sedikit kenapa kuliah di USU dan komunikasi cukup jadi problematika dalam hidup aku pribadi.
Lingkungan
Mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, enggak pernah sekolah di sekolah umum yang isinya anak-anak yang berbeda agama. Karena
dari awal selalu duduk dibangku Madrasah, dimana anak-anaknya baik
budi (wkwk) dan selalu dicekoki dengan pelajaran agama yang mumpuni dari guru-guru
yang luar biasa jasanya. Akhirnya masuklah ke USU, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Ilmu Komunikasi 2014, yang isinya mulai
dari yang taat, bandal hingga bertobat. Tapi banyak juga yang bringas, nakal
dan tak beragama.
Syok? Alhamdulillah iya.
Tapi untungnya enggak
lama.
Teman Sejawat
Belum lagi teman-teman sejawat seangkatan, sejurusan, sekelas sampai akhirnya jatuh pada geng-geng yang merasa dirinya “junjungan” kalau istilah keren anak jaman now.
Mulai dari anak-anak yang kaya rayahhh, sampai kepada anak yang kuliahnya ngandelin beasiswa dan makan sekali dalam sehari. Pulang kampus bukan pulang tapi nongkrong cantik dulu bos.
Mulai dari cewek-ceweknya yang tertutup dari ujung rambut sampai ujung kaki dan menemukan cewek-cewek yang rambutnya harus di keritingin dulu ujungnya kalau mau pergi ke kampus, belum lagi bibir merah meronah, hingga lensa mata yang menambah indah suasana sudut kota.
Naik turun mobil, nggak boleh capek apalagi sampai berkeringat. Pegangannya dari smartphone canggih yang lambangnya apple, sampai pada mahasiswa yang alhamdulillah hapenya bisa buat chat via Line, WA dan BBM. Alhamdulillah nggak susah-susah amat.
Semester demi semester dilalui dengan cukup baik, mulai dari ujian yang berusaha buat enggak nyontek, kecuali ada dua gendangnya yang buat aku jadi “nanya” sama teman kalau udah ujian. Satu, dosennya kalau ngajar enggak jelas. Kedua, materi yang disampaikan lebih enggak jelas dari dosen yang ngajar. Dapat kawan yang alhamdulillah soleha sampai yang bejat juga ada.
Mulai dari yang nasehatin yang baik-baik, sampai yang ngatain “jomblo ngenes” dan nyuruh buat berubah jadi lebih feminim, padahal nyatanya dia pun jomblo. Kalaupun dia punya pacar predikat yang disandang akan tetap jomblo. Karena pada dasarnya pengertian dari jomblo itu sendiri adalah “orang yang belum berstatus menikah” titik
Belum lagi ada temen yang ngatain, "aku kebanyakan mimpi tanpa aksi" (sumpah ini sakitnya ngebekas sampai hari ini) bener-bener dah lu yeee, tapi banyak juga yang nyemangatin dan malah senasib seperjuangan.
Pada mulanya kita yang berjumlah kurang lebih 200 orang ini sama-sama menyandang status sebagai anak komunikasi, hingga negara api menyerang semester lima kita sibuk milih konsentrasi apa yang bakal kita pilih dan semester penentuan yakni enam kita milih konsentrasi apa yang bakal kita tuju dan itu terbagi atas, Jurnalistik, Public Relation dan Advertising.
Bingung dan galau dialami banyak orang, nggak cuma satu, dua orang hingga kegalauan ini pun kena ke diri aku pribadi. Mencoba buat mikir dan sholat di ujung-ujung waktu penentuan akhirnya seorang Rizky Chairani memilih Public Relation alias PR alias HUMAS.
Hari demi hari dilalui, bukan perkara yang mudah. Mulai dari baju pas datang ke kampus kering, sampai basah, hingga akhirnya kering lagi. Mulai dari uang beasiswa banyak sampai ludes dan akhirnya aku mutusin buat kerja dan sekarang malah buat aku menilai dunia PR bukan dunia kacang-kacang, apalagi anggap dia hanya remahan rempenyek, apalagi bubuk nutri sari.
Misi awal milih PR sebenarnya simpel, “CUMA PENASARAN’’ sama dunia ini. Akhirnya rasa penasaran tadi dijawab dengan sempurna. Lelahnya bukan main, pengorbanannya bukan main, sampai pertumpahan ludah sama teman-teman sekelompok bukan main lagi basahnya.
Garis besarnya, banyak hal yang kita kerjakan, dimulai dari Praktek Komunikasi atau anak komunikasi biasa nyebutnya “ADVEL”, masuk lagi ke publisitas dimana kita harus punya satu klien dan nge-Up dia di semua media-media yang ada di Sumatera Utara sampai ke Nasional sekali pun. Bukan satu, dua kelompok yang ada dikelas, ada sekitar 16 kelompok yang memperebutnya kursi “kelompok terbaik”, hingga akhirnya bukan kelompok aku yang menang. Belum lagi kampanye-kampanyean di mata kuliah teknik-teknik humas yang buat kantong terkuras habis didalamnya (publisitas sama tekhum sama pengeluarannya), bukan cuma satu project, tiap minggu presentasi dan akhirnya buat Press Conference ala-ala yang juga nggak sedikit uangnya. Bukan hanya sebatas uang atau waktu yang memang kita curahkan. Perdebatan sama keluarnya kata-kata kasar sampai isi kebun binatang yang enggak layak tayang pun keluar semena-mena. Yang satu ngatain yang satu, yang satu lagi nyesal udah sekelompok, belum lagi yang satu enggak suka sama teman yang satu. Tapi sampai enggak kawanan atau cakapan lagi alhamdulillah enggak.
Hectic banget ky? Lumayan. Tapi enggak terasa kalau dijalani dengan ikhlas. Ini terasa saat kita ngeluh dan cerita. Kayak aku gini, terasanya baru sekarang dan jadi pembelajaran kalau masa-masa sulit kayak gitu bisa aku lewati dengan langkah yang memang enggak mudah, karena aku bersama-sama dengan orang-orang yang cukup cinta dengan dunia komunikasi, walaupun hal yang paling sangat disayangkan adalah "GAP" diantara anak-anak komunikasi.
Banyak tembok penghalang saat kita yang tidak terlalu suka berkelompok masuk ke kelompok lain. Serasa ada didunia lain, dunia dimana kamu enggak akan pernah ngerti mereka bahas apa, ketawain apa dan sebahagia apa nyeritain suatu objek mati atau hidup. Enggak akan ada rasa nyaman saat berada diantara mereka. Kita diajak ngobrol saat pembahasan mereka sudah habis, mereka mulai lelah dan kita sebagai kerupuk, kayak pelengkap aja diantara geng hits nan elit. Sungguh miris fakta berikut saudara.
Saat kita yang seharusnya saling rangkul, malah acuh saat bertemu karena kita bukan bagian dari kelompok mereka, karena kulit kita enggak putih, uang kita enggak banyak, mobil pun tak punya dan makan siang hanya sanggup di zam-zam.
Mulai ngerembet kemana-mana pembahasan
Inti dari tulisan ini adalah passion adalah hal yang sanggggaaat berarti dalam hidup kita. Pahami diri kita dengan mencoba menelaah, aku sukanya apa ya?. Saat ngerjakan hal ini aku merasa bahagia enggak ya?. Memang benar kata Ridwan Kamil, “Hal yang paling menyenangkan adalah saat pekerjaan kita adalah hobi yang dibayar".
Jujur aku masuk PR bukan karena gengsi yang entah darimana strata ini dibangun. Tapi karena aku buta sama dunia PR dan saat aku masuk, jujur sekali lagi “kurang nyaman” dan jarang hati merasa lega dan bahagia. Tapi disamping masalah dan balada didunia PR banyak hikmah yang aku ambil dari pilihan yang sebenarnya enggak salah, tapi mungkin cara menjalankan dan rasa keikhlasannya kurang. PR mengajarkan aku pentingnya menghargai yang namanya waktu, mengajarkan aku kerja keras dan ikhlas. Mengajarkan aku selalu baik dan berkata jujur dengan siapapun. Jangan jadi orang yang bermuka dua. Kurang setuju sama pernyataan, “PR harus bermuka dua”. Untuk apa? Satunya lagi mau diletakin dimana bro?.
Saat diri kita baik, yakinlah hal baik akan melangkahkan kita kearah yang benar-benar baik. Saat kita baik orang kasar sama kita?. SABAR. Udah sabar masih aja di maki-maki? SABAR lagi. Tau nggak?, ternyata SABAR adalah hadiah terbesar yang Allah berikan untuk kita dan tidak semua orang bisa memilikinya. Ujiannya setiap hari, enggak kenal waktu.
Disamping itu, PR juga membuat aku banyak bertemu orang, belajar lebih banyak tentang media. Banyak keajaiban dilapangan hingga mempertemukan kita sama orang-orang yang mau membantu dengan tulus.
PR bukan tentang kita yang memakai heels tinggi membuat badan tinggi sesampai. Menyandang status menjadi PR harus membuat pemikiran kita yang tinggi, wawasan, kemampuan lobbing yang baik dan kerja keras yang tetap terjaga.
Salam dari saya seorang Public Relation rasa Jurnal