Danau Lau Kawar: Ranu Kumbolonya Sumatera Utara
Memasuki awal April yang indah,
dengan cuaca yang sudah jarang sekali hujan. Saya mengisinya dengan pergi berkemah
ke Tanah Karo, setelah terakhir kali kemah pada bulan Agustus 2020, https://www.rizkychairani.com/2021/02/tercekik-dingin-di-gunung-sibayak.html. Saya rindu
lagi untuk tidur di tenda diselimuti dinginnya malam yang menusuk sampai ke
tulang-tulang.
Rencanan awalnya masih sangat
abstrak mau pergi kemana, saya tanyakan adik katanya “terserah”. Saya yang bingung, memutuskan untuk mencari pada mesin
pencari Google “Tempat berkemah di Sumut”.
Keluarlah banyak pilihan, tapi jarak tempuhnya yang berat, yakni menghabiskan
waktu 8-12 jam perjalanan. Saya memutuskan mencari tempat lain di Instagram,
sampai pencarian saya terhenti pada salah satu postingan yang menggambarkan tempat
asri, mewah layaknya Villa berkelas yang sedang viral di Instagram dan Tik Tok,
tempat tersebut adalah Lau Kawar. Saya
tidak yakin bisa datang ke tempat itu, karena harganya pasti mahal. Lamat-lamat
saya baca bandrolan harga menginap disana, memang tidak affordable untuk kantong karyawan swasta seperti saya.
“Oh iya, kemah di Lau Kawarnya saja”. Ngapain pulak aku di Villa
kekgitu, orang niat kemah mau nyari pengalaman susah-susah seru kok”. Haha….
Setelah membuka Google kembali,
saya melihat beberapa review jelek
tentang Lau Kawar. Mulai dari kotoran Mie Instan dimana-mana, sampah yang
berserakan. Tapi mau pergi kemana lagi, kalau hanya Air Terjun Sikulikap dan
Sibolangit tempatnya terlalu dekat, adik saya pasti tidak setuju. Akhirnya
membulatkan niat untuk pergi ke Lau Kawar.
Sekitar tahun 2013 saya menjadi
bagian dari tim penerjunan safari Ramadhan semasa Madrasah Aliyah, semacam
pengabdian masayarakat di desa-desa yang masih minim pengetahuan islam dan lingkungannya
juga minoritas. Kami mengabdikan diri selama 10 hari di salah 1 desa yang akan
ditempati 4-5 orang anak baru gede di Tanah Karo dan Langkat. Kami wajib
membuat sebuah pergerakan positif, seperti mengaji, sholat jama’ah, menjadi
imam/bilal, da’i/dai’ah(penceramah), jadi marbot masjid, membuat acara
perlombaan atau silaturrahmi antar warga, beramah-tamah kepada tetangga dan
warga sekitar, membantu warga yang sedang kesulitan, intinya kami bak problem solver yang dicampakkan di medan
perang dengan dana minim, seingat saya waktu itu Rp 250.000 – Rp 350.000/desa
atau kelompok, tetapi wajib berdakwah semaksimal mungkin dan kenyataannya, kami
benar-benar hidup dengan baik disana, tanpa ayah-ibu yang biasanya memberikan
jajan dan makanan yang sudah ada diatas meja.
Pulang dari sana, seingat saya kami
diajak koordinator lapangan pergi ke Lau Kawar dengan angkutan umum yang sudah
disewa atau istilah orang Medan di carter,
itulah pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke Lau Kawar, tapi ingatan tentang
Lau Kawar sama sekali tidak terbesit di otak saya, saya ingatnya justru Danau
Toba, hahaha.
Lau Kawar merupakan sebuah danau
yang konon katanya terbentuk karena letusan gunung api. Danau Lau Kawar ini berada
di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Danau
Lau Kawar berada dibawah kaki Gunung Sinabung yang pada awal Maret lalu sempat
terjadi erupsi dengan kabut asap tebal yang menyelimuti daerah setempat hingga
panasnya terasa pekat di siang hari sampai kota Medan. Ketika safari Ramadhan dulu,
saya ditempatkan di Desa Beras Tepu, Karo yang letaknya lebih dekat dengan kaki
gunung, dinginnya “tak terkataken”,
berbeda jauh sekali suhunya dibandingkan Danau Lau Kawar. Jarak tempuh Tembung-Lau
Kawar adalah 102 km dari jalur Berastagi dan 101 km dari jalur Langkat.
Kami pergi berempat dan 2 orang
lagi menyusul. Ada saya, adik laki-laki saya, 4 orang sisanya adalah tetangga
dan teman adik saya. Kami mengawali perjalanan dari dari Tembung menuju Lau
Kawar dengan menggunakan sepeda motor, pada pukul 19.00 WIB. Kami berboncengan
dengan membawa 2 buah tas carrier yang
kami persiapkan sore hari dan snack
yang dibeli saat perjalanan.
Dua tas carrier berisi 2 buah tenda muatan 2 orang dan 4 orang, 2 buah sleeping bed, 3 matras, perlengkapan
memasak seperti kompor gas, alat masak (nesting). Dipapah dibahu dan satu lagi
diletakkan didepan kereta Beat saya.
Alhamdulillah perjalanan lancar,
sampai pada Jalan Jamin Ginting rintik-rintik hujan mulai turun. Kami yang sebelumnya
sudah berada di Indomaret memutuskan untuk berhenti dulu dan menikmati dimsum
serta bakso yang dijual di Indomaret. Selang 15 menit rintiknya masih tetap
turun, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa menggunakan jas
hujan, maklum bawa anak laki-laki keras kepala semua. Padahal cuaca Medan
Berastagi akan beda rasanya kalau badan sudah diguyur hujan.
Beberapa jalanan gelap kami
lewati, apalagi saat sudah berada di Kecamatan Naman Teran. Banyak desa-desa
mati yang rumahnya sudah ditinggal penghuninya. Pohon-pohon jeruk yang berada
di kanan kiri, tapi pohon pakis menghibur kami, karena lahan mereka dipenuhi
lampu seperti taman kota bahkan lebih terang dari itu.
Beberapa kali adik saya
mengelakkan lubang sampai akhirnya kedua kali kami masuk kedalam lubang membuat
tulang belakang daerah tulang ekor sakitnya nauzubillah.
Rasanya sakit sekali, bahkan saya ingin sekali berhenti. Kami berhenti sebanyak
3 kali, diawal-pertengahan jalan-dan akhir demi meluruskan pinggang dan pantat
saya yang keram karena jauhnya perjalanan dan kerasnya tempat duduk.
Perhitungan maps mengatakan
perjalanan akan memakan waktu 3 jam 30 menit. Kami menghabiskan waktu 5 jam 30
menit, dengan berhenti untuk beristirahat kurang lebih 2 jam.
Sampai di Danau Lau Kawar, uang
masuk yang dipatokkan kepada kami awalnya Rp 25.000/kereta, tapi kami minta
diskon harga akhirnya Rp 20.000/kereta. Tepat puku 00.20 WIB kami sampai dan
membuka semua barang-barang yang dibawah. Kami bersyukur walaupun anginnya
sangat kencang, gerimis dan dingin, ada pondok tempat berjualan ibu-ibu untuk meneduh.
Kami mendirikan tenda tepat
disampingnya dengan cahaya lampu yang terang benderang diatas tenda kemah,
beruntung sekali.
Setelahnya, kami keluarkan
alat-alat masak dan langsung memutuskan untuk memasak. Kami makan malam dengan
lauk nasi yang matangnya sempurna, mie instan kuah yang mie nya agak keras dan
nugget yang kekeringan.
Kata anak laki-laki, “Maklumlah, yang kita bawa wanita karir
bukan ibu rumah tangga”,
“Kurang asam”, pikir saya.
Kompor yang apinya kecil membuat
saya lelah berlama-lama, apalagi anginnya kencang, membuat api berulang kali
mati, sampai kami putuskan untuk memakai dapur ibu pemilik warung yang sudah
tutup kala itu, api kami tidak mati dan yang paling penting kami merasa hangat
karena sisi kanan-kiri-belakang ditutupi seng jadi membuat kami yang tak
terbiasa dengan angin malam merasa nyaman yang luar biasa di dapur itu.
Selesai makan, saya dan Wawan
(adik saya) menunaikan sholat Isya, setelahnya kami memutuskan untuk tidur di
tenda. Walaupun waktu menjelang pagi, yakni 03.00 WIB, berkemah tanpa tidur
bagaikan sayur tanpa garam, hambar coy.
Pagi hari yang indah disambut dengan Danau Lau Kawar yang mempesona dengan udara yang sejuk. Tampak pemandangan Danau tepat didepan mata kami, padahal malam hari gelap gulita, posisi danau dimana saja saya tidak tahu, karena tidak kelihatan. Mungkin kalau memberanikan diri berjalan-jalan pada malam hari, bisa-bisa kejebur ke danau. Review sampah mie instan di Google dimana-mana itu justru tidak ada, kondisi lingkungan Lau Kawar kala itu cukup bersih.
Saya memutuskan untuk mengambil
gambar dan video, serta tak lupa ritual pagi buang hajat pun dilakukan. Setelah
itu saya membangunkan yang lain, tapi tidak ada yang bangun , akhirnya saya
putuskan berkeliling sendirian di pinggir danau, sambil sesekali memperhatikan
sekitar dan mengambil foto. Setelah kembali ke tenda lagi, saya duduk sejenak
dan melihat seseorang yang lewat didepan saya seperti orang yang saya kenal,
wajahnya familiar. Ternyata benar saja, itu junior saya di Madrasah Aliyah, dia
dan rombongan teman-teman sesama pengajarnya baru saja tiba di Lau Kawar,
mereka mengalami banyak sekali struggle
dalam perjalanan, hingga akhirnya memutuskan pergi ke Lau Kawar.
Kami saling bertanya satu sama
lain, setelah berbincang dengannya adik saya bangun dan 1 jam setelah perbincangan
itu panggilan alam saya muncul lagi. Saya terpaksa pura-pura mengehentikan pembiacaraan
dan buru-buru ke WC umum.
Kenapa harus 2 kali sih, apalagi itu tempat asing. Ampun!
Setelah buang hajat untuk kedua kalinya, semua orang sudah bangun dan masing-masing juga mendapatkan panggilan alam. Saya dan adik saya memutuskan untuk memasak, menunya sama seperti malam hari.
“Aduh, perut saya akan mual lagi”.
Tapi sayangnya tidak ada pilihan
lain.
Setelah makan kami berenam berjalan berkeliling melihat daerah sekitar, mengambil beberapa foto.
Kami tergiur dengan danau yang
air nya hijau ini, tapi saat kami mencuci piring dan menciduk air ke daratan
airnya jernih. Kami bertanya terlebih dahulu dengan warga lokal. Saya melihat
ibu-ibu sedang menjemur padinya, ternyata sangat disayangkan tidak boleh mandi
di danau tersebut. Entah apa alasannya kami manut saja.
Pukul 11.30 WIB kami membereskan
tenda dan bergegas pulang ke Medan. Kami melewati jalur yang berbeda, kami
lewat Langkat. Ternyata jalur Langkat jalanannya dipenuhi aspal tanpa lubang.
Kami melewati hutan dengan pohon yang rindang ke jalan. Kami merasakan
perjalanan yang sangat berbeda. Lewat jalur Langkat kami menghabiskan waktu
kurang lebih 4 jam. Berhenti 2 kali dengan menghabiskan waktu kurang lebih 30
menit.
Kemah kali ini sangat berbeda
karena baru pertama kali pergi dengan formasi laki-laki semuanya dan saya
sendiri perempuan, tapi karena ada mahrom saya, saya sih santuy aja. Saya berharap selanjutnya akan ada perjalanan menarik
lainnya, entah pergi bersama siapa atau dengan mengendarai apa, saya hanya
berharap perjalanan yang saya lakukan menjadi refleksi diri untuk lebih dekat
dengan Sang Pencipta alam semesta.
Dan jangan lupa....
2 Comments
pesan terakhir itu penting banget ya soal sampah.
BalasHapusdi kawasan ini katanya banyak penduduk yang pergi meninggalkan desanya, kebanyakan mereka pindah kemana sih?
Iya mas, alhamdulillah kita kalau camping selalu ngumpulin sampah disatu tempat dan dibuang ketempatnya.
HapusMereka pindah ke pengungsian, didaerah dekat wisata tempat ibadah umat buddha, didekat Pagoda, saya lupa nama tempatnya mas. Waktu sy kesana, disana berdiri tenda-tenda dan bangunan. Tapi banyak juga yang memilih pindah ke Medan. Saya dengar juga mereka dibangunkan rumah didaerah yang aman. Tapi banyak juga dr mereka yang berat hati untuk ninggalin rumah, karena lahan pertanian mereka. Wajar sih Mas, kita aja waktu disana pagi-pagi mereka udh di kebun jeruk aja, sampai sore. Soalnya lahan pertanian rata-rata ada di wilayah zona merah.